Sabtu , 27 April 2024

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alamsyah menyatakan terdapat peraturan dalam merealisasikan kewajiban FKPM 20 persen. Untuk itu, ia mengimbau setiap elemen masyarakat dan pemerintah daerah dapat memahami aturan yang telah dirumuskan dalam Permentan Nomor 18 tahun 20 tentang Dirjen Perkebunan : FPKM 20 Persen Ada Aturannya*

Pekanbaru (khabarmetro.com) – Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alamsyah menyatakan bahwa masyarakat tidak dapat serta merta memaksa perusahaan perkebunan sawit untuk memenuhi kewajiban 20 persen Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM). Andi menegaskan ada aturan yang harus ditaati dalam penerapan FPKM tersebut.

Andi mengatakan hal itu mengacu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar merupakan turunan PP Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

“Tidak dibenarkan apabila ada pihak yang memaksa mengambil kebun inti tertanam dalam hak guna usaha (HGU) atau izin usaha perkebunan (IUP) milik perusahaan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (21/6/2023).

Menurutnya hal ini harus dipahami bersama dengan pertimbangan banyaknya permasalahan muncul akibat penafsiran yang berbeda terkait kewajiban perusahaan memberikan 20 persen untuk Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar.

Ia menjelaskan FPKM 20 persen sejatinya merupakan kewajiban perusahaan perkebunan sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Namun, ia menegaskan bahwa aturan tersebut hanya berlaku bagi perusahaan dengan izin usaha perkebunan yang terbit setelah Februari 2007. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 26 Tahun 2007.

Selanjutnya, berdasarkan aturan yang berlaku sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013, pasal 60 ayat 1 disebutkan, bahwa ketentuan kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari luas IUP-B atau IUP tidak berlaku bagi perusahaan perkebunan yang telah melaksanakan pola kemitraan seperti perkebunan inti rakyat (PIR) yakni PIR-BUN, PIR Trans, PIR KKPA, atau pola perkebunan inti plasma lainnya.

“Yang sebelumnya jika sudah ada kemitraan dalam usaha produktif atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat) maka tidak kena (aturan FPKM 20 persen),” tutur Andi.

Untuk itu, Andi pun menyatakan telah menyurati seluruh kepala daerah di Indonesia untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan FPKM sehingga tidak menjadi masalah serta menimbulkan konflik di lapangan dalam pelaksanaannya.

“Kita telah menyurati seluruh kepala daerah mulai dari Gubernur hingga Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia agar mempedomani aturan yang ditetapkan,” paparnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan tuntutan masyarakat atas FPKM sebesar 20 persen tidak bisa dipukul rata untuk semua perusahaan perkebunan sawit, karena sesuai dengan Permentan 26/2007, kewajiban FPKM sebesar 20 persen untuk masyarakat sekitar tidak diwajibkan bagi kebun yang telah memperoleh ijin/ IUP sebelum Februari tahun 2007.

“Sehingga baru wajib bagi perusahaan perkebunan yang IUP terbit setelah 2007,” paparnya.

Selain itu, saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, PP Nomor 26/2020 Bidang Pertanian dan Permentan Nomorb18/2021 yang mengatur tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar sebesar 20 persen dari luas kebun yang diusahakan.

Sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dan turunannya, telah ditentukan adanya kewajiban FPKM yakni apabila di sekitar perkebunan tidak ada atau tidak tersedia lahan lagi, telah diatur kegiatan produktif lain yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan masyarakat sekitar.

“Program pemberdayaan yang akan diterima manfaatnya oleh masyarakat akan difasilitasi perusahaan seperti pola kredit, pola bagi hasil dan atau pola kemitraan lainnya. Artinya bukan harus membangun kebun sawit, tetapi masyarakat diberikan opsi sesuai keinginannya dan disepakati dengan perusahaan, bila masyarakat sekitar ingin beternak sapi boleh, mau usaha perikanan boleh,” jelasnya.

Penafsiran bahwa fasilitasi pembangunan kebun masyarakat yang selalu harus dibangun kebun sawit, jelas Andi, adalah penafsiran lama. Pemerintah telah memberikan solusi, bisa berupa kegiatan produktif lain dan kemitraan lainnya.

Sebaiknya juga, pinta Andi, sesuai Permentan Nomor 18 Tahun 2021, penerima manfaat FPKM adalah masyarakat yang telah membentuk kelompok petani, gapoktan, dan koperasi, yang nantinya akan menerima fasilitasi pembiayaaan tersebut sesuai dengan nilai optimum produksi yang ditetapkan Ditjebun. “Dan bukan perorangan,” tutupnya.

Check Also

Hadiri Halal Bi Halal HKR, Wabup Minta Seluruh Masyarakat Rohul Tingkatkan Kebersamaan Dan Persatuan

Rohul -Mengangkat Tema “Merajut Kebersamaan Meraih Kemenangan” Himpunan Keluarga Rokan Hulu (HKR )Pekan baru Provinsi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *