Rabu , 24 April 2024

Berkunjung ke Negeri Jiran Malaysia, Setelah Hampir Tiga Tahun “Dipenjara” Covid-19

Melaka Sentral Masih Sepi, TBS di Kuala Lumpur pun Belum Ramai (bagian-2)

Di Melaka Sentral. 

Efek Covid-19 memang luar biasa. Walau sudah lama dibuka jalur masuk ke Melaka, tapi geliat ekonomi di sini nampak jelas belum sepenuhnya pulih. Salah satu yang terlihat, suasana di terminal bus Melaka Sentral, salah satu tempat yang biasanya tidak pernah sepi. Yuk, ikuti perjalanan kami.

Laporan KHAIRUL AMRI, Malaysia
amrik4551@gmail.com

PERJALANAN dari pelabuhan Melaka ke Melaka Sentral hanya sekitar 10 menit. Taksi Ocu Sulaiman yang tak baru lagi, tapi masih bersih dan moncreng, perlahan tapi pasti membawa kami ke sana. Sampai di terminal, turun dari taksi dan semua barang dibawa serta.

Saya katakan ke Ocu Sulaiman, “nanti pas kami pulang dari Kuala Lumpur, tolong jemput lagi ke Melaka Sentral ya. Nanti saya telepon,” kata saya. Ocu asli Salo itu hanya mengangguk, pertanda siap.

Memasuki terminal di Melaka Sentral, mata saya lirik kiri lirik kanan. Suasana masih sepi. Terminal bus yang selalu ramai ini, terlihat tidak seperti biasanya. Bahkan ada beberapa toko yang masih tutup. Rabu siang (12/10) seperti itu, kalau dulu sebelum Covid, di sini sangat ramai. Baik oleh warga tempatan, juga oleh para wisatawan.

Saya dan isteri terus berjalan di dalam terminal. Saya ingat betul, kalau sampai di sini siang hari, saya selalu makan siang di rumah makan Melayu khas Melaka. Di sini kita bisa makan sepuasnya, tapi harganya tidak terlalu mahal. Kita dipersilahkan untuk “layan diri” atau ambil makanan sendiri, dan nanti bisa bayar sesuai yang dimakan ke kasir, setelah selesai makan.

Sampai di depan restoran itu, saya lihat pintu rolling doors-nya tutup. Nampaknya sudah lama tutup. Gerai yang berdekatan, ada dua pintu, keduanya pun tutup. Namanya, Restoran Sri Mawar Ria. Tempat favorit saya makan siang di Melaka Sentral. “Dahsyatnya Covid-19 ini. Restoran milik warga tempatan begini, pun bisa tutup,” kata saya kepada isteri.

Beruntung, ada restoran yang buka. Tak jauh dari restoran yang tutup tadi. Walau tidak begitu menggugah selera, nampak dari menu yang disajikan, daripada perut lapar akhirnya kami pun makan siang di sini. Isteri saya, kebetulan masih ada bekal nasi dari rumah. Dia makan bekal itu, saya saja yang memesan makan siang.

Sambil isteri menunggu pesan makan, saya pergi ke konter/loket penjualan tiket bus. Selama di jalan menuju loket tiket, saya lihat banyak sekali toko yang tutup. Melaka Sentral yang dulu ramai, bahkan hampir setiap sudutnya terisi, sekarang masih lengang. Saya pun sedih juga. Tapi, saya bisa juga bersyukur dalam hati: Alhamdulillah, kampung saya tidak seperti ini betul. Masih lumayan, dan perlahan-lahan Riau pun bisa kembali bangkit ekonominya.

Sampai di loket penjualan tiket bus, pun sama. Petugas di situ lebih banyak yang diam. Padahal, kalau dulu, kita harus antre di loket tiket supaya bisa dapat beli tiket sesuai jam keberangkatan yang diinginkan. Di loket ini, saya pesan dua tiket bus tujuan akhir Kuala Lumpur. Lihat di layar, karena sistem penjualan tiket disini semua sudah terkoneksi, ada jadwal pukul 15.30 waktu setempat. Karena tidak mau buru-buru saya pesan di jam itu saja.

Tiket sudah dipesan. Saya kembali ke restoran untuk makan siang. Selesai makan siang, saya salat Zuhur sekaligus jamak qasar ke Ashar, di musalla Melaka Sentral. Setelah semua tuntas, saya dan isteri menuju ruang tunggu keberangkatan bus ke Kuala Lumpur.

Pemandangan yang berbeda dari biasanya, bisa dilihat di ruang tunggu keberangkatan Melaka Sentral ini. Banyak sekali kursi calon penumpang yang rusak dan layak diperbaiki. Dalam hati saya berucap, “tak biasanya seperti ini. Kenapa kursi yang rusak dibiarkan saja tergeletak disitu. Ini Melaka. Ini Malaysia,” kata saya, dalam hati saja. Mana berani saya lapor petugas. Ya, sudahlah. Lihat saja.

Jadwal keberangkatan kurang dari 30 menit, semua penumpang sudah diminta naik bus. Saya dan isteri menuju bus, dan memasukkan barang ke ruang bagasi, lalu naik ke bus. Banyak kursi kosong di dalam bus. Walau tak terisi penuh, sesuai jadwal, pukul 15.30 waktu setempat bus ini harus berangkat. Begitu pula hebatnya sistem di sini. Busnya berangkat wajib tepat waktu atau ontime.

Bersama pak Wong.

Sampai TBS, Rindu Terobati
Perjalanan naik bus dari Melaka ke Kuala Lumpur terasa nyaman. Hampir semua jalan yang dilewati adalah jalan tol. Bus yang membawa kami, tertulis di dindingnya “Melor Interline” bergerak pasti. Seperti biasa, jika tidak macet maka kecepatan di tol sudah diatur: maksimal 110 km/jam.

Dengan kecepatan itu, ditambah lagi arus lalu lintas yang tidak begitu macet, dalam waktu kurang dari dua jam bus pun sampai di Kuala Lumpur. Tujuan pertama bus ini, adalah Terminal Bersepadu Selatan (TBS).

Sejak Tiga tahun belakangan, semua aktivitas angkutan bus antar negeri di Malaysia sudah dipindahkan ke TBS. Kalau dulu masih ada terminal bus di kawasan Pudu Raya, tapi sekarang semua sudah berpusat di sini.

Saya sudah lama sekali tidak kesini. Hampir empat tahun agaknya. Lupa, kapan kali terakhir ke TBS. Tapi, masih ingat suasana ketika itu, sangat ramai. Semua loket tiket bus selalu antre. Begitu juga mesin pembelian tiket online, pun antre. Di sejumlah tempat, seperti mini market di sini, pun ikut ramai.

Tapi itu dulu. Waktu virus dari ‘negara api’ bernama Covid-19 belum menyerang. Bukan saja ramai. Jika tidak tepat waktu, maka kita bisa tidak kebagian tiket bus. Karena semua kursi sudah terisi penuh. Maka, dulu itu, saya selalu dua jam sebelum waktu keberangkatan sudah berada di TBS. Tujuannya agar aman, dan lebih pasti bisa dapat tiket untuk berangkat.

Kini, suasana 180 derajat nampak jelas dan terasa di sini. Tak ada lagi antre di loket tiket. Apalagi di mesin tiket online. Semua masih terlihat belum ramai. Sehingga kita bisa leluasa mau pesan tiket di loket mana saja, atau bisa juga langsung di mesin pemesanan tiket online. Benar-benar longgar.

Mata saya menyapu semua sudut ruangan di gedung TBS ini. Masih lengang. Tak banyak orang yang berlalu lalang. Bahkan gate (pintu) turun ke ruang keberangkatan bus, pun ada yang masih ditutup. Kalau biasanya dibuat beberapa jalur pintu, kemarin itu hanya satu jalur turun saja. Semua terpusat di satu tempat, dan hanya ada satu atau dua orang penjaga saja berjaga di situ. Kondisi di sini belum benar-benar pulih.

TBS memang belum ramai. Tapi aktivitas keseharian di terminal ini nampaknya sudah berjalan normal. Rindu datang ke sini bisa juga terobati. Karena tak begitu ramai, jadi lebih cepat proses dan urusan di loket tiket. Mudah pula kita untuk bisa turun ke ruang keberangkatan. Tak terlalu membingungkan, seperti waktu ramai-ramai dulu.

Bersama Bang Mus. 

Mengaspal di Kuala Lumpur
Akhirnya, sampai juga ke Kuala Lumpur. Turun dari tangga TBS, saya dan isteri menuju parkiran taksi. Kami akan menuju ke pusat kota, tepatnya di kawasan Kepong Industry. Di sana sudah ada yang menunggu, kebetulan keluarga dekat isteri, dan dari sana nanti kami baru diajak ke rumah keluarga/saudara isteri itu.

Sesuai arahan, saya diminta ambil taksi berbayar yang biasa saja. Begitu sampai di parkiran, sudah banyak taksi yang antre menunggu penumpang. Bisa memilih juga, mau yang VIP atau yang biasa. Karena kami santai saja, akhirnya dipilih taksi biasa. Cuma agak aneh. Namanya taksi ber-meter alias pakai argo-meter. Tapi begitu didekati, pas sudah mau masuk, eh ternyata supirnya menyebutkan harga nego. Tapi, ya sudahlah. Karena sudah petang, kami pun menurut saja.

Warna taksinya Merah hati dan putih. Nama supirnya, pak Wong. Kalau dilihat mata sipitnya, juga nama, dia ini Tionghoa. Tapi bahasa Melayu Malaysia-nya sudah bagus. Kami pun bisa berkomunikasi. Pak Wong pun ramah. Taksi keluar dari parkiran, dan mengaspal di jalanan kota Kuala Lumpur.

Saya masih bisa abadikan beberapa foto dan video, suasana di luar taksi. Jalannya ramai. Maklum sudah pedang, pas pula jam pulang kantor. Gedung-gedung tinggi pencakar langit nampak di sekeliling kami. Sesekali sempat macet. Pak Wong sering juga ngomel sendiri. Tapi, tak sampai membuat perjalanan taksi ini tersendat terlalu parah. Situasi tetap aman dan terkendali.

Di luar cuaca mulai gelap. Sinar matahari yang tadi masih terlihat cerah menyinari bumi Kuala Lumpur, perlahan redup. Ujung jalan di depan taksi mulai nampak gelap. Siang mulai berganti senja. Atas kuasaNya, malam pun tiba, menggantikan siang dan sore yang terang.

Sekitar 45 menit berkendara, sampai juga kami ke kawasan Kepong Industry. Menunggu sebentar, tiba pula mobil jemputan dari keluarga isteri saya. Yang datang, bang Mirhamad Irfan, biasa dipanggil Bang Mus. Dia senang, kami pun suka. Tak lama berselang, kami pun berpindah mobil, dan saatnya pulang untuk istirahat. **

Check Also

Region Head PTPN IV Regional III: Hari Kemenangan untuk Perkuat Perbaikan

Region Head PTPN IV PalmCo Regional III Rurianto berpesan kepada segenap insan perusahaan agar menjadikan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot thailand slot gacor resmi demo slot